Narsis kok baik? Katanya mencintai diri sendiri yang berlebihan itu hanya akan membuat menjadi lupa diri, nggak ingat akan dunia sekitar, dan di akhirnya hanya akan merugikan diri sendiri. Memang, apapun yang berlebihan pastilah nggak baik.
Namun bukankah sudah menjadi karakteristik dalam setiap orang untuk kagum akan dirinya sendiri? Siapa yang nggak bangga melihat dirinya mendapat nilai A di kampus, dipuji atasan, lalu kemudian memamerkannya ke rekan-rekan lainnya? Nggak sedikit di antara kita yang memandang cermin berlama-lama hanya untuk memastikan dirinya tampil menarik setiap saat (hayoo, ngaku!)
Itulah salah satu alasan situs-situs yang mengandalkan pada konten partisipasi anggotanya menjadi sukses. Hakikatnya, semua anggota ingin unjuk diri, memamerkannya ke teman-teman dalam jejaringnya atau bahkan memaksa orang lain yang belum ikut untuk menjadi anggota (dengan salah satu alasan, agar profil dirinya bisa dilihat orang tersebut). Para penulis blog pun juga ikut menjadi bangga saat puluhan orang berkomentar di blognya. Semakin banyak komentar pujian, semakin ia bangga akan dirinya sendiri.
Ragam aplikasi Web 2.0 memang membantu diri kita mendapatkan aktualisasi diri. Sesuatu yang sebelum kita mengenal blog atau jejaring sosial, serasa sulit untuk dicapai. Seharusnya, kalau Abraham Maslow masih hidup saat ini, beliau pasti akan memikirkan “Theory of Needs” baru, karena rasa aktualisasi diri sudah semakin mudah dicapai oleh setiap orang.
Semakin seseorang aktif menulis blog, berkomentar, dan menjadi seorang yang eksis di dunia maya, sudah pasti ia adalah seorang yang narsis. (Psst, ada yang pernah mencoba kenarsisannya dengan mencari namanya sendiri di belantara Google?)
Pernah nggak terpikir untuk memanfaatkan aplikasi Web 2.0 ini untuk membangun narsisme diri menjadi sesuatu yang positif? Misalnya, memanfaatkan blog, jejaring sosial, fasilitas berbagi foto, video, dan artwork untuk menampilkan keahlian diri Anda.
Tidak salah memang menulis blog tentang kehidupan pribadi Anda sendiri, namun kenarsisan seperti itu belum tentu bisa mendukung Anda secara positif. Bila ada konten dari tulisan itu yang memberikan manfaat bagi orang lain, itu artinya narsisme Anda sudah berbuah positif. Bisa dari tulisan khas ilmiah hingga bahkan tips-tips kehidupan rumah tangga. Kekhasan Anda dalam menulis menjadi kekhasan kenarsisan Anda. Hindari menulis hal-hal yang terlalu standar, yang semua orang bisa menuliskannya, misal: bangun tidur ku terus mandi, dst…
Kalau Anda hobi dan punya keahlian di bidang fotografi, videografi, atau desain, perbanyak dan pertajam terus keahlian Anda. Tampilkan progres keahlian Anda di situs-situs seperti Flickr, YouTube, atau DeviantArt. Sebar keahlian Anda ini ke teman-teman Anda di Facebook dan Friendster. Tampilkan kekhasan Anda melalui profil Anda di Facebook dan Friendster. Ungkapkan kalau Anda memang ahli (atau punya keahlian, meski baru memulai) di bidang tersebut.
Menjadi narsis yang positif nggak berbeda dengan membangun personal branding. Anda tentunya ingin selalu dicitrakan secara positif oleh teman-teman Anda. Oleh karena itu, mulailah dengan membangun kenarsisan Anda di ranah internet dengan konten bermanfaat. Dengan menampilkan segala kepositifan Anda saat bersosialisasi di dunia maya, kenarsisan Anda akan berbuah positif pula.
John Hemmingson Gonzaga: The Legacy of a Baseball Legend
1 tahun yang lalu
0 komentar on "Narsis Part 1"
Posting Komentar